Di Pulau Yamdena Harapan Dissa Bermuara

Muda, pintar, lajang, kaya, namun memiliki nasionalisme tinggi. Itulah karakter para pengajar muda di Yayasan Indonesia Mengajar (YIM). Berikut suka duka Dissa (26), pengajar muda asal Madiun yang ditempatkan di Maluku, disampaikan kepada Edy Hafidl dari Surabaya Post dengan gaya bertutur.

DIASTRI Satriantini namaku. Biasa dipanggil Dissa. Anak pasangan dr. Sutjipto, Sp. THT dan Titin Hartini. Ayahku, dokter spesialis THT di Madiun. Terakhir, aku menempuh studi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, angkatan tahun 2005. Aku juga sempat mengenyam pendidikan SMA-ku di Amerika Serikat (AS).

Sekitar tujuh bulan terakhir, aku menjalankan tugas mengajar di SD Kristen Lumasebu, di pesisir timur Pulau Yamdena, salah satu pulau di Kepulauan Tanimbar, Kab. Maluku Tenggara Barat. Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar (YIM) yang dipimpin oleh Bapak Anies Baswedan PhD., Rektor Universitas Paramadina, mengirimkan aku dan 71 orang rekan aku lainnya ke desa-desa terpencil di Indonesia, untuk mengajar di SD selama satu tahun.

Aku tahu Indonesia itu luas, aku tahu saudara kita di Indonesia Timur itu tertinggal. Tapi saat aku datang dan merasakan bagaimana kehidupan mereka, tetap saja aku kaget dengan betapa mereka begitu dekat dengan Indonesia, namun sekaligus begitu jauh dengan Indonesia. Mereka bisa berbahasa Indonesia, mereka tahu presiden Indonesia, berbelanja dengan rupiah, tapi mereka begitu berbeda dengan tempat-tempat yang kutinggali di Indonesia sebelumnya.

Kecamatan tempat aku tinggal, Kecamatan Kormomolin, terdiri dari 10 desa yang kesemuanya tidak terjangkau sinyal telpon seluler maupun listrik PLN. Beruntung, Desa Lumasebu masih punya genset desa yang digunakan bersama untuk menerangi rumah-rumah di seluruh desa dari pukul 18.00 WIT hingga 23.00 WIT.

Transportasi dari desa ke kota terdekat ―Saumlaki, ibukota kabupaten― sebenarnya bisa dilakukan dengan tiga jam naik angkutan umum, mengingat sarana jalan sedang giat-giatnya dibangun sebagai satu-satunya jalan pemerintah di Pulau Yamdena, yakni jalan Trans Yamdena. Namun, karena harga tiket angkutan terbilang cukup mahal (Rp 50.000 sekali jalan) jadi masyarakat desa juga tidak terbiasa pergi ke kota, kecuali orang-orang desa yang cukup “berada”, seperti Kepala Desa, anggota Majelis Gereja, pegawai kecamatan, atau pemilik warung.

Nah, kenapa aku bisa ‘terdampar’ di Pulau Yamdena? Baiklah, aku ceritakan. Kata banyak orang, buku adalah jendela dunia. Dari buku, kita bisa terbang keluar dari ‘tempurung’ kita, bisa menjelajah ke belahan bumi lain (saat kita baca buku cergan Tintin, Trio Detektif), atau ke sudut ‘dunia’ lain (Harry Potter, Lord of The Rings). Atau, menambah pengetahuan tentang berbagai hal, dan bahkan buku komik seperti Doraemon membuat anak-anak kecil Jepang berani bermimpi untuk menjadi penemu-penemu hebat seperti sekarang ini.

Sebagai mantan anak kecil, setiap kita pasti punya pengalaman pribadi dengan buku, dengan cerita-cerita, yang menemani masa pertumbuhan dan pembelajaran kita. Aku pribadi punya kesan yang dalam terhadap buku favorit aku sewaktu kecil, yakni komik berjudul Sailor Moon. Serial itu menginspirasi aku untuk menulis cerita sejenis―tentang sekelompok pahlawan cewek―hingga empat buku penuh dalam kurun waktu aku kelas III hingga VI SD.

Meskipun kisah Sailor Moon ini sekilas terkesan ringan dan klise, namun aku rasa nilai-nilai “menolong yang lemah” yang diusungnya begitu membekas dalam diriku hingga sekarang. Bahkan keputusanku yang merasa terpanggil untuk mengajar di pedalaman tenggara Maluku ini, jika ditelusuri bisa jadi berujung pada nilai-nilai “menolong yang lemah” yang tertanam karena serial Sailor Moon tadi. Aku yakin, setiap dari kita pasti punya cerita yang personal tentang buku dan pengaruhnya terhadap diri kita masing-masing, sebesar atau sekecil apapun.

Di Lumasebu, aku lihat mata pencaharian yang paling menjanjikan keamanan finansial adalah sebagai pemilik warung. Kemudian, kira-kira sejajar dengan pemilik warung adalah para pegawai negeri sipil (PNS) yang berstatus pegawai kantor kecamatan ataupun guru. Para anggota Majelis Gereja dan perangkat desa, yang meskipun terhormat secara sosial namun nampaknya tidak terlalu aman secara finansial, seringkali harus turut mencari nafkah seperti sebagian besar penduduk desa lainnya, yaitu dengan bertani kopra, tumbuk batu, dan angkat pasir.



Sumber : Surabayapost.co.id


JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :



Dikirim oleh Roedy pada 21.48. dan Dikategorikan pada , , . Kamu dapat meninggalkan komentar atau pesan terkait berita / artikel diatas

PENGUNJUNG ONLINE

2010 Lintas Madiun. All Rights Reserved. - Designed by Lintas Madiun